Menggambar adalah ibarat mengeja abjad-abjad, sedangkan melukis bagaikan mengarang novel. Demikian pernah dikatakan Pak Tino Sidin. Masih selalu dengan trade mark-nya, berbaret hitam dengan kuncir dan cangklong hitam buatan Denmark yang kadang selalu terselip di bibir. Tentang koleksi baret-baret itu konon dua dari 10 baretnya merupakan hadiah dari orang nomor satu di negeri ini waktu itu, siapa lagi kalau bukan Presiden Soeharto. Tak hanya Soeharto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef juga pernah memberi hadiah baret untuknya.
Tino Sidin merupakan putra Jawa kelahiran Sumatera yaitu Tebingtinggi, Sumatera Utara 25 November 1925. Dia tutup usia pada usia sekitar 70 tahun, pada 29 Desember 1995 di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Kwaron, Desa Ngestiharjo, Bantul, Yogyakarta. Seperti halnya Leonardo da Vinci, demikian juga Tino Sidin sejak kecil sudah menunjukkan kegemarannya melukis, meski ditentang oleh orang tuanya karena dianggap tidak akan mampu menghidupinya kelak.
Mengenang Tino Sidin, tentu saja kita ingat pada acara yang diasuhnya di TVRI yaitu Gemar Menggambar. Semula acara Gemar Menggambar hanya disiarkan di Stasiun TVRI Yogyakarta pada 1976-1978, sebelum kemudian dilanjutkan di TVRI Jakarta setiap Minggu sore untuk program serupa hingga beberapa tahun.
Tino Sidin yang lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta itu tak lupa selalu memuji setiap karya lukisan bocah-bocah yang dikirimkan kepadanya pada Gemar Menggambar di TVRI. Bagi Tino Sidin tak ada lukisan anak-anak yang buruk, karena setiap karya lukisan mempunyai karakter unik sendiri-sendiri. Karena prinsipnya adalah membuat bocah-bocah itu suka menggambar.
Kecintaan Tino Sidin pada dunia lukis dan anak-anak tersebut sungguh bertolak belakang dengan kehidupan masa lampaunya yang penuh dengan kekerasan. Latar belakang pada masa-masa revolusi kemerdekaan memang membuat Tino Sidin ikut berjuang dalam situasi kekerasan yang jauh berbeda dengan masa-masa kedekatannya dengan anak-anak melalui seni lukis.
Sebab dia pernah ikut andil dalam perang revolusi kemerdekaan dengan menjadi anggota Polisi Tentara Divisi Gajah Dua Tebingtinggi. Tahun 1945. Tidak hanya itu, pada masa-masa pergerakan revolusi setelah kemerdekaan, yaitu tahun 1946 hingga 1949 ia ikut terlibat lagi dengan bergabung menjadi anggota Tentara Pelajar Brigade 17 Yogyakarta, bersama-sama dengan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Demikianlah dia sepenuhnya percaya bahwa seni akan membuat orang, terutama anak-anak akan menjadi halus dan dengan demikian akan jauh dari hal-hal yang berbau kekerasan.
Sumber: http://tuyulcartoon.multiply.com/